Rabu, 09 September 2015

tafsir hadist (menghadap kiblat)



MENGHADAP KIBLAT

 

Makalah
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Tafsir ibadah

Disusun Oleh
Kelompok III:



Dosen Pembimbing
Rindom Harahap,




SEMESTER IV D PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIA’H
JURUSAN EKONOMI ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BENGKULU
2014



         PENDAHULUAN
1.    LATAR BELAKANG
Kiblat adalah arah menuju Ka'bah. Bagi orang Islam menghadap kiblat adalah keharusan saat akan melaksanakan sholat, karena Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sebelum melaksanakan sholat.Sehubungan dengan peristiwa berikut, ketika Nabi Muhammad SAW memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, kaum Musyrikin Mekkah berkata: "Muhammad dibingungkan oleh agamanya. Ia memindahkan arah kiblatnya ke arah kiblat kita. Ia mengetahui bahwa jalan kita lebih benar daripada jalannya.
Pada waktu Nabi Muhammad SAW, berada di Mekkah di tengah-tengah kaum musrikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. Tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau diperintahkan oleh Allah untuk memindahkan arah kiblat ke Ka’bah,untuk memberi pengertian bahwa dalam ibadah shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan Ka'bah, tetapi menghadapkan diri kepada Allah. Untuk persatuan Umat islam, maka Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat.









BPEMBAHASAN
1.      Surat Al-Baqarah 142-145 dan 149-150


2.      Terjemahan Surat Al-Baqarah Ayat 142-145 Dan 149-150
Artinya: 142) Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “apakah yang memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat ) kepadanya?” katakanlah (Muhammad), “Milik Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petuntuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”
143) Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
144) Sungguh Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
145)  Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al kitab (Yahudi dan Nasrani) semua ayat (keterangan dan bukti), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya kamu termasuk orang-orang yang zalim.
149) Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
150) Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu kearah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Dan janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk.

3.      Mufradat Atau Kosa Kata Ayat[1]
Ø السُّفَهَاءُ : makna asal dari kata tersebut adalah ringan, tidak berbobot, tipis, tidak bernilai, dan dapat pula diartikan dengan bodoh dan lemah serta kurang akal pikirannya. Mengenai orang-orang bodoh yang dikhitab dalam ayat di atas, sebagaimana dinyatakan Imam Ibn Katsir bahwa terdapat beberapa pendapat para ahli tafsir yang menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan orang-orang munafik.[2] Namun Sayyid Quthb secara tegas menafsirkan kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang Yahudi.[3]
Ø وَلاهُمْ: yaitu memalingkan mereka. Ungkapan ini mengandung pertanyaan yang mengandung arti ejekan/celaan yang mengandung keheranan dan ketakjuban.
Ø القِبْلَة: berasal dari kata “المقابلة” yang berarti bertatap muka berhadap-hadapan,kemudian kata ini di khususkan untuk menyebut arah yangdihadapi/dituju oleh manusia dalam melakukan sholat.
Ø وَسَطًا : Adil lagi pilihan atau orang yang paling baik di antara mereka. Karena orang yang berlebih-lebihan dan yang mengurangi sama-sama tercelanya. Zamakhsyari (1:148) menyatakan bahwa yang baik itu yang tengah-tengah karena ujung-ujungnya cepat rusak, sedang tengah-tengahnya terpelihara.
Ø عَقِبَيهِ: Merupakan bentuk mutsanna/ganda dari kata “عقب” yang artinya ujung kaki. Namun dapat pula diartikan dengan berbalik atau kembali. Dengan demikian, maka pengertiannya adalah :supaya kami mengetahui siapa yang imannya tetap/teguh dan orang yang murtad dari agama Allah.
Ø الشَّطْرُ : menurut bahasa, ia berarti arah atau bagian dan dapat pula diartikan dengan bagian. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat ini adalah arah atau bagian dari Masjidil Haram.
Ø   تَقَلُّبُ الوَجْهِ : berulang kali menengadah ke langit. Al-Zajjaj, mengartikan ungkapan ayat ini dengan berulang kali matanya memandang/menengadah kelangit.
Ø وَجْهَكَ : yaitu arah, dapat juga diartikan dengan separuh atau sebagian daripada sesuatu.

4.      Asbabul Nuzul Ayat
Asbabul nuzul ayat  142 : al-Barra mengatakan bahwa orang-orang bodoh berkata, “Apakah yang memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban tentang perubahan arah kiblat, dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (HR. Ibnu Ishaq)
Asbabul nuzul ayat 143 : Al-Barra mengatakan “ beberapa orang Islam meninggal atau gugur sebagai syuhada sebelum kiblat diubah kembali kearah Ka’bah. Sementara itu, kaum muslimin ingin mengetahui bagaimana nasib mereka. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini.” (HR Bukhari dan Muslim)
Asbabul nuzul ayat 144 : Al-Barra berkata “Rasulullah sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, saat sholat beliau sering memandang langit menanti perintah Allah, kemudian Allah menurunkan ayat ini.” (HR. Bukhari)
5.      Tafsir Ayat Secara Global
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tatkala Rasulullah SAW masih berdomisili di mekkah, beliau dalam shalatnya senantiasa menghadap ke Baitul Maqdis, sebagaimana dilakukan oleh Nabi-nabi Bani Israil. Tetapi sebenarnya beliau senang menghadap Ka’bah, karena bangunan tersebut merupakan Kiblat nenek moyangnya Ibrahim as sedangkan beliau datang untuk menghidupkan agama nenek moyangnya itu dan untuk memperbaharui dakwahnya, serta Ka’bah juga merupakan bangunan yang ada lebih dahulu diantara dua kiblat tersebut.
Sementara orang-orang yahudi mengatakan : “ Muhammad itu menyalahi agama kita. Seandainya tidak ada agama kita, tentu dia tidak tau harus kemana menghadap dalam shalatnya”. Oleh karena itu, Nabi SAW enggan untuk tetap mengikuti kiblat mereka. Bahkan diriwayatkan, beliau pernah berkata kepada malaikat jibril : “seandainya di perkenankan, aku ingin Allah mengalihkan aku dari kiblat orang-orang yahudi kekiblat yang lain”. Maka sejak saat itu beliau senantiasa mengarahkan pandangannya kelangit, dengan harapan beliau akan menerima wahyu dari Allah SWT, yang menetapkan pemindahan kiblat ke ka’bah (al-Dur al-Ma’tsur : 1: 147).
Ungkapan ayat tersebut diatas menyatakan bahwa sebelum kiblat dipindahkan, Allah Swt telah memberitahu tentang apa yang akan diucapkan oleh orang-orang yang dungu dari kalangan yahudi. Padahal peristiwa tersebut belum terjadi. Pemberitahuan semacam ini merupakan mukjizat bagi Rasulullah Saw yang menunjukkan bukti kebenaran risalah yang beliau bawa, karena pemberitahuan ini berkenaan dengan sesuatu yang gaib. Di samping itu, dalam pemberitahuan ini terkandung jawaban yang dapat mematahkan argumentasi lawan.
Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf telah mengemukakan faidah dan kegunaan suatu berita yang kasusnya belum terjadi. Beliau menyatakan :Faidahnya, datangnya secara tiba-tiba sesuatu yang tidak disukai akan mendatangkan  kegoncangan yang hebat. Sedangkan mengetahuinya sebelum terjadi akan mengurangi kegoncangan dalam jiwanya, apabila ksus tersebut terjadi, karena mentalnya telah dipersiapkan. Sedangkan jawaban yang diperlukan, akan lebih dapat mematahkan argumentasi lawan dan dapat menolak bencana yang mungkin timbul.[4]
Tidak hanya itu, Musthafa al-Maraghy menjelaskan bahwa sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ialah orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiah, termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Shabi’in, di samping beberapa pengikut sekte agama Hindu penyembah berhala, yakni kelompok yang populer dengan olahraga yoga.
Kemudian, lahirlah Islam yang berupaya memadu antara dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan duniawiah (jasmaniah), di samping memberikan hak-hak secara manusiawi. Islam berpandangan bahwa manusia itu terdiri dari ruh dan jasmani. Atau, jika anda suka, katakanlah bahwa manusia itu terdiri dari unsur “hewan” dan “malaikat”. Jadi, agar seseorang menjadi manusia dalam pengertian yang sempurna, maka harus memenuhi dua kebutuhan tersebut secara seimbang dan terpadu.Demikianlah kiranya maksud yang ingin disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat 142 surah al-Baqarah di atas.
Artinya, agar kaum muslimin menjadi saksi bagi setiap orang yang berpaham materialis, dan orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal agama dan sama sekali tidak memperdulikan kepentingan jasmaniah dengan cara menyiksa diri dan menutup diri dari hak-hak kemanusiaannya yang wajar. Kaum muslimin juga sebagai umat yang berada pada posisi depan karena mempunyai sikap pertengahan di dalam segala bentuk urusan. Kenyataan ini sekaligus merupakan tanda kesempurnaan yang tidak dapat dibandingkan lantaran bersikap memberikan hak secara proporsional, dan tidak ada satu hak pun yang umat Islam lewatkan. Kewajiban terhadap tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap sanak famili dan orang lain, semuanya dipenuhi oleh umat Islam.
Sebab, Rasulullah adalah teladan yang paling baik bagi umat manusia. Kita akan dikatakan sebagai umat pertengahan jika mengikuti jejak ajarannya. Sehingga, perintah Allah SWT untuk mengganti arah kiblat tidak lain untuk mengetahui sejauh mana umat manusia yang tetap beriman dan yang tidak beriman (orang-orang yang hatinya terombang-ambing oleh arus dan berpendirian tak menentu).
Perpindahan kiblat ini tentu sangat berat dirasakan oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan kiblat sebelumnya. Sebab, manusia memang cenderung kepada kebiasaan yang sudah lama dilakukan, dan sangat keberatan mengenal sesuatu yang baru. Dalam hal ini, yakni perpindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Terkecuali bagi orang yang sudah berbekal hidayah dari Allah SWT.
6.      Munasabah atau Korelasi Ayat
Pembicaraan dalam ayat-ayat ini berkisar dan teringkas pada masalah pemindahan arah kiblat dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan pemindahan arah kiblat, serta tipu daya yang dilancarkan orang-orang bodoh kepada barisan kaum muslimin dan perkataan-perkataan yang dilontarkan mereka seputar masalah tersebut.
Terkait perpindahan arah kiblat pada ayat 142, Allah menjadikan kaum muslimin sebagai umat pilihan dan pertengahan (umat yang adil tidak berat sebelah baik didunia maupun di akhirat, tetapi seimbang antara keduanya).
Dari ayat 142-145 surah al-Baqarah di atas juga dapat dipahami bahwa Allah SWT mengadakan ujian kepada kaum beriman, siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman, dan siapa yang masih ragu-ragu. Bagi siapa saja yang mengerti dan memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat, sudah barang tentu iman akan semakin tertanam. Tetapi bagi orang yang masih merasa ragu-ragu dan terombang-ambing oleh kebimbangan, atau hanya ikut-ikutan dalam beragama, tanpa pengetahuan dan penghayatan, tentu iman mereka akan semakin luntur.
Demikianlah cara Allah SWT menguji iman manusia dengan memunculkan fitnah. Dengan begitu, dapat diketahui siapa yang benar-benar beriman, tidak berpura-pura dan sungguh-sungguh.
Dan ketika dalam ayat 143 di atas disebutkan kata li na’lama, yang artinya agar Kami mengetahui. Padahal pengetahuan Allah itu adalah qadim dan tidak pernah berubah. Hal inilah yang mendorong para mufassir mengatakan, bahwa yang dimaksud ilmu di sini ialah saat munculnya pengetahuan tersebut, atau terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan ilmu Tuhan. Sebab pada dasarnya Allah telah mengetahui seluruh kejadian yang akan terjadi. Allah pun mengetahui kepastian kejadian yang akan terjadi, di samping akibat dari peristiwa tersebut, apakah diberi pahala atau tidak.
Perintah untuk menghadap ke arah Masjidil Haram diulangi dalam ayat 150 untuk menjelaskan, bahwa perintah itu bersifat umum untuk seluruh umat, masa dan tempat dan karena sangat penting serta karena ada hikmah yang terkandung di dalamnya yaitu agar tidak ada lagi alasan bagi ahli kitab, kaum musyrikin dan munafikin untuk menentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam persoalan pemindahan kiblat. Begitu pula kaum musyrikin berpendapat bahwa nabi dari keturunan Ibrahim itu akan datang menghidupkan agamanya sehingga tidaklah pantas apabila berkiblat kepada selain Ka’bah yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Dengan demikian maka batallah alasan-alasan para ahli kitab dan kaum musyrikin itu. Orang-orang zalim di antara mereka yang melontarkan cemoohan dan bantahan-bantahan tanpa alasan yang berdasarkan akal sehat dan keterangan dari wahyu tidak perlu dipikirkan  dan dihiraukan. Adapun cemoohan mereka itu adalah sebagai berikut:
Orang-orang Yahudi berkata, "Tiadalah Muhammad itu berpindah kiblat ke Ka’bah, melainkan karena kecenderungan kepada agama kaumnya dan kecintaan kepada negerinya; sekiranya dia berada di atas kebenaran, tentulah ia akan tetap berkiblat ke kiblat para nabi sebelumnya."Orang-orang musyrikin berkata, "Ia telah kembali kepada kiblat kita dan akan kembali kepada agama kita."Dan orang-orang munafikin berkata, "Berpindah-pindah kiblat itu menunjukkan bahwa Muhammad dalam keragu-raguan dan tidak berpendirian."Demikianlah alasan-alasan yang dibuat-buat oleh penentang-penentang agama Islam di waktu itu.









C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari uraian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a.    Mereka yang menentang dan mempertanyakan tentang perpindahan kiblat, tiada lain hanya kebodohannya serta tidak mau menggunakan akal sehatnya.
b.    Semua arah mata angin adalah milik Allah. Oleh sebab itu perpindahan arah kiblat tidak perlu dipertentangkan.
c.    Umat Muhammad adalah umat yang paling mulia. Karena itu, Allah subhanahu wata’ala memilihnya sebagai saksi atas umat-umat sebelumnya kelak di hari kiamat.
d.   Salah satu syarat sahnya shalat adalah menghadap ke arah kiblat. Namun, mengenai menghadap ke arah ka'bah para ulama' berbeda pendapat.
e.    Dalam menghadapi berbagai masalah, diperlukan suatu persiapan yang matang. Sebab Allah sendiri telah mendidik hamba Nya untuk menghadapi kaum yang bodoh dan pembangkang dengan memberikan persiapan persiapan.








DAFTAR PUSTAKA

http://ammaghfur.blogspot.com
http://c.1asphost.com
Syarjaya, H. E. Syibli, 2008, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Sinar Baru algensindo
Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT. Bina Ilmu.



[1] H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 119-121.
[2] Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimsyiqi, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, al-Maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 452.
[3] Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Juz 2, Sinar Baru algensindo, hal.2
[4] Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Juz 2, Sinar Baru algensindo, hal.35