MENGHADAP KIBLAT
Makalah
Dipresentasikan
dalam Mata Kuliah
Tafsir ibadah
Disusun Oleh
Kelompok III:
Dosen Pembimbing
Rindom Harahap,
SEMESTER IV D PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIA’H
JURUSAN EKONOMI
ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN)
BENGKULU
2014
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Kiblat adalah arah menuju Ka'bah.
Bagi orang Islam menghadap kiblat adalah keharusan saat akan melaksanakan
sholat, karena Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sebelum melaksanakan
sholat.Sehubungan dengan peristiwa berikut, ketika Nabi Muhammad
SAW memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah, kaum Musyrikin Mekkah
berkata: "Muhammad dibingungkan oleh agamanya. Ia
memindahkan arah kiblatnya ke arah kiblat kita. Ia mengetahui bahwa jalan kita
lebih benar daripada jalannya.
Pada waktu Nabi Muhammad SAW, berada di Mekkah di
tengah-tengah kaum musrikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. Tetapi setelah
16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan
Nasrani beliau diperintahkan oleh Allah untuk memindahkan arah kiblat ke Ka’bah,untuk memberi
pengertian bahwa dalam ibadah
shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan Ka'bah, tetapi menghadapkan diri
kepada Allah.
Untuk persatuan Umat islam, maka Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat.
BPEMBAHASAN
1.
Surat
Al-Baqarah 142-145 dan 149-150
2.
Terjemahan
Surat Al-Baqarah Ayat 142-145 Dan 149-150
Artinya: 142) Orang-orang
yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “apakah yang memalingkan
mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka (berkiblat ) kepadanya?”
katakanlah (Muhammad), “Milik Allah-lah timur dan barat, Dia memberi petuntuk
kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus”
143) Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu
berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul
dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat
berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
144) Sungguh Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit,
maka akan Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi Al kitab
(Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari
Tuhan mereka. Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
145) Dan sesungguhnya jika kamu
mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Al kitab (Yahudi dan Nasrani) semua
ayat (keterangan dan bukti), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun
tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka pun tidak akan
mengikuti kiblat sebagian yang lain. Sesungguhnya jika kamu mengikuti
keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya kamu termasuk
orang-orang yang zalim.
149) Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram, sesungguhnya itu benar-benar ketentuan dari Tuhanmu. Allah
tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
150) Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke
arah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu
kearah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali
orang-orang yang zalim diantara mereka. Dan janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar
kamu mendapat petunjuk.
3.
Mufradat Atau Kosa Kata Ayat[1]
Ø السُّفَهَاءُ : makna asal dari kata tersebut adalah ringan, tidak berbobot, tipis, tidak
bernilai, dan dapat pula diartikan dengan bodoh dan lemah serta kurang akal
pikirannya. Mengenai orang-orang bodoh yang dikhitab dalam ayat di atas,
sebagaimana dinyatakan Imam Ibn Katsir bahwa terdapat beberapa pendapat para
ahli tafsir yang menafsiri kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang musyrik Arab, para pendeta Yahudi, dan
orang-orang munafik.[2] Namun
Sayyid Quthb secara tegas menafsirkan kata السُّفَهَاءُ dengan orang-orang Yahudi.[3]
Ø وَلاهُمْ: yaitu
memalingkan mereka. Ungkapan ini mengandung pertanyaan yang mengandung arti
ejekan/celaan yang mengandung keheranan dan ketakjuban.
Ø القِبْلَة: berasal
dari kata “المقابلة” yang
berarti bertatap muka berhadap-hadapan,kemudian kata ini di khususkan untuk
menyebut arah yangdihadapi/dituju oleh manusia dalam melakukan sholat.
Ø وَسَطًا : Adil lagi pilihan atau orang yang paling baik di antara mereka. Karena
orang yang berlebih-lebihan dan yang mengurangi sama-sama tercelanya.
Zamakhsyari (1:148) menyatakan bahwa yang baik itu yang tengah-tengah karena
ujung-ujungnya cepat rusak, sedang tengah-tengahnya
terpelihara.
Ø عَقِبَيهِ: Merupakan
bentuk mutsanna/ganda dari kata “عقب” yang artinya ujung kaki. Namun dapat pula
diartikan dengan berbalik atau kembali. Dengan demikian, maka pengertiannya
adalah :supaya kami mengetahui siapa yang imannya tetap/teguh dan orang yang
murtad dari agama Allah.
Ø الشَّطْرُ : menurut bahasa, ia berarti
arah atau bagian dan dapat pula diartikan dengan bagian. Sedangkan yang
dimaksud dengan ayat ini adalah arah atau bagian dari Masjidil Haram.
Ø تَقَلُّبُ الوَجْهِ : berulang
kali menengadah ke langit. Al-Zajjaj, mengartikan ungkapan ayat ini dengan berulang kali matanya memandang/menengadah
kelangit.
Ø وَجْهَكَ : yaitu
arah, dapat juga diartikan dengan separuh atau sebagian daripada sesuatu.
4.
Asbabul Nuzul
Ayat
Asbabul nuzul ayat
142 : al-Barra mengatakan bahwa orang-orang bodoh berkata, “Apakah yang
memalingkan mereka (muslim) dari kiblat yang dahulu mereka berkiblat kepadanya?
Kemudian Allah menurunkan ayat ini sebagai jawaban tentang perubahan arah
kiblat, dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (HR. Ibnu Ishaq)
Asbabul nuzul ayat 143 : Al-Barra mengatakan “ beberapa
orang Islam meninggal atau gugur sebagai syuhada sebelum kiblat diubah kembali
kearah Ka’bah. Sementara itu, kaum muslimin ingin mengetahui bagaimana nasib
mereka. Oleh karena itu Allah menurunkan ayat ini.” (HR Bukhari dan Muslim)
Asbabul nuzul ayat 144 : Al-Barra berkata “Rasulullah
sholat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas
bulan, saat sholat beliau sering memandang langit menanti perintah Allah,
kemudian Allah menurunkan ayat ini.” (HR. Bukhari)
5.
Tafsir Ayat
Secara Global
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa tatkala
Rasulullah SAW masih berdomisili di mekkah, beliau dalam shalatnya senantiasa
menghadap ke Baitul Maqdis, sebagaimana dilakukan oleh Nabi-nabi Bani Israil.
Tetapi sebenarnya beliau senang menghadap Ka’bah, karena bangunan tersebut
merupakan Kiblat nenek moyangnya Ibrahim as sedangkan beliau datang untuk
menghidupkan agama nenek moyangnya itu dan untuk memperbaharui dakwahnya, serta
Ka’bah juga merupakan bangunan yang ada lebih dahulu diantara dua kiblat
tersebut.
Sementara orang-orang yahudi mengatakan : “ Muhammad
itu menyalahi agama kita. Seandainya tidak ada agama kita, tentu dia tidak tau
harus kemana menghadap dalam shalatnya”. Oleh karena itu, Nabi SAW enggan untuk
tetap mengikuti kiblat mereka. Bahkan diriwayatkan, beliau pernah berkata
kepada malaikat jibril : “seandainya di perkenankan, aku ingin Allah
mengalihkan aku dari kiblat
orang-orang yahudi kekiblat yang lain”. Maka sejak saat itu beliau senantiasa
mengarahkan pandangannya kelangit, dengan harapan beliau akan menerima wahyu
dari Allah SWT, yang menetapkan pemindahan kiblat ke ka’bah (al-Dur al-Ma’tsur
: 1: 147).
Ungkapan ayat tersebut diatas menyatakan bahwa
sebelum kiblat dipindahkan, Allah Swt telah memberitahu tentang apa yang akan
diucapkan oleh orang-orang yang dungu dari kalangan yahudi. Padahal peristiwa
tersebut belum terjadi. Pemberitahuan semacam ini merupakan mukjizat bagi
Rasulullah Saw yang menunjukkan bukti kebenaran risalah yang beliau bawa,
karena pemberitahuan ini berkenaan dengan sesuatu yang gaib. Di samping itu,
dalam pemberitahuan ini terkandung jawaban yang dapat mematahkan argumentasi
lawan.
Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf telah mengemukakan
faidah dan kegunaan suatu berita yang kasusnya belum terjadi. Beliau menyatakan
:Faidahnya, datangnya secara tiba-tiba sesuatu yang tidak disukai akan
mendatangkan kegoncangan yang hebat.
Sedangkan mengetahuinya sebelum terjadi akan mengurangi kegoncangan dalam
jiwanya, apabila ksus tersebut terjadi, karena mentalnya telah dipersiapkan.
Sedangkan jawaban yang diperlukan, akan lebih dapat mematahkan argumentasi
lawan dan dapat menolak bencana yang mungkin timbul.[4]
Tidak hanya itu, Musthafa al-Maraghy menjelaskan
bahwa sebelum lahirnya Islam, umat manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, ialah orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan
kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang yang
mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah
secara total, sehingga sama sekali meninggalkan hal-hal yang bersifat
duniawiah, termasuk kebutuhan jasmaniah mereka. Di antara mereka adalah kaum
Nasrani dan Shabi’in, di samping beberapa pengikut sekte agama Hindu penyembah
berhala, yakni kelompok yang populer dengan olahraga yoga.
Kemudian, lahirlah Islam yang berupaya memadu antara
dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan duniawiah (jasmaniah), di
samping memberikan hak-hak secara manusiawi. Islam berpandangan bahwa manusia
itu terdiri dari ruh dan jasmani. Atau, jika anda suka, katakanlah bahwa
manusia itu terdiri dari unsur “hewan” dan “malaikat”. Jadi, agar seseorang
menjadi manusia dalam pengertian yang sempurna, maka harus memenuhi dua
kebutuhan tersebut secara seimbang dan terpadu.Demikianlah kiranya maksud yang
ingin disampaikan oleh Allah SWT melalui ayat 142 surah al-Baqarah di atas.
Artinya, agar kaum muslimin menjadi saksi bagi
setiap orang yang berpaham materialis, dan orang-orang yang berlebih-lebihan
dalam hal agama dan sama sekali tidak memperdulikan kepentingan jasmaniah
dengan cara menyiksa diri dan menutup diri dari hak-hak kemanusiaannya yang
wajar. Kaum muslimin juga sebagai umat yang berada pada posisi depan karena
mempunyai sikap pertengahan di dalam segala bentuk urusan. Kenyataan ini
sekaligus merupakan tanda kesempurnaan yang tidak dapat dibandingkan lantaran
bersikap memberikan hak secara proporsional, dan tidak ada satu hak pun yang
umat Islam lewatkan. Kewajiban terhadap tuhan, terhadap diri sendiri, terhadap
sanak famili dan orang lain, semuanya dipenuhi oleh umat Islam.
Sebab, Rasulullah adalah teladan yang paling baik
bagi umat manusia. Kita akan dikatakan sebagai umat pertengahan jika mengikuti
jejak ajarannya. Sehingga, perintah Allah SWT untuk mengganti arah kiblat tidak
lain untuk mengetahui sejauh mana umat manusia yang tetap beriman dan yang
tidak beriman (orang-orang yang hatinya terombang-ambing oleh arus dan berpendirian
tak menentu).
Perpindahan kiblat ini tentu sangat berat dirasakan
oleh orang-orang yang sudah terbiasa dengan kiblat sebelumnya. Sebab, manusia
memang cenderung kepada kebiasaan yang sudah lama dilakukan, dan sangat
keberatan mengenal sesuatu yang baru. Dalam hal ini, yakni perpindahan arah
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Terkecuali bagi orang yang sudah berbekal
hidayah dari Allah SWT.
6.
Munasabah atau
Korelasi Ayat
Pembicaraan dalam ayat-ayat ini berkisar dan teringkas
pada masalah pemindahan arah kiblat dan masalah-masalah lain yang berkaitan
dengan pemindahan arah kiblat, serta tipu daya yang dilancarkan orang-orang
bodoh kepada barisan kaum muslimin dan perkataan-perkataan yang dilontarkan
mereka seputar masalah tersebut.
Terkait perpindahan arah kiblat pada ayat 142, Allah
menjadikan kaum muslimin sebagai umat pilihan dan pertengahan (umat yang adil
tidak berat sebelah baik didunia maupun di akhirat, tetapi seimbang antara
keduanya).
Dari ayat 142-145 surah al-Baqarah di atas juga dapat
dipahami bahwa Allah SWT mengadakan ujian kepada kaum beriman, siapakah di
antara mereka yang benar-benar beriman, dan siapa yang masih ragu-ragu. Bagi
siapa saja yang mengerti dan memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat,
sudah barang tentu iman akan
semakin tertanam. Tetapi bagi orang yang masih merasa ragu-ragu dan
terombang-ambing oleh kebimbangan, atau hanya ikut-ikutan dalam beragama, tanpa
pengetahuan dan penghayatan, tentu iman mereka akan semakin luntur.
Demikianlah cara Allah SWT menguji iman manusia
dengan memunculkan fitnah. Dengan begitu, dapat diketahui siapa yang
benar-benar beriman, tidak berpura-pura dan sungguh-sungguh.
Dan ketika dalam ayat 143 di atas disebutkan kata li
na’lama, yang artinya agar Kami mengetahui. Padahal pengetahuan Allah itu
adalah qadim dan tidak pernah berubah. Hal inilah yang mendorong para mufassir
mengatakan, bahwa yang dimaksud ilmu di sini ialah saat munculnya pengetahuan
tersebut, atau terjadinya peristiwa yang berkaitan dengan ilmu Tuhan. Sebab
pada dasarnya Allah telah mengetahui seluruh kejadian yang akan terjadi. Allah
pun mengetahui kepastian kejadian yang akan terjadi, di samping akibat dari
peristiwa tersebut, apakah diberi pahala atau tidak.
Perintah untuk menghadap ke arah Masjidil Haram diulangi
dalam ayat 150 untuk menjelaskan, bahwa perintah itu bersifat umum untuk
seluruh umat, masa dan tempat dan karena sangat penting serta karena ada hikmah
yang terkandung di dalamnya yaitu agar tidak ada lagi alasan bagi ahli kitab,
kaum musyrikin dan munafikin untuk menentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam persoalan pemindahan kiblat. Begitu pula kaum musyrikin berpendapat bahwa
nabi dari keturunan Ibrahim itu akan datang menghidupkan agamanya sehingga
tidaklah pantas apabila berkiblat kepada selain Ka’bah yang telah didirikan
oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Dengan demikian maka batallah alasan-alasan para
ahli kitab dan kaum musyrikin itu. Orang-orang zalim di antara mereka yang
melontarkan cemoohan dan bantahan-bantahan tanpa alasan yang berdasarkan akal
sehat dan keterangan dari wahyu tidak perlu dipikirkan dan dihiraukan. Adapun cemoohan mereka itu
adalah sebagai berikut:
Orang-orang Yahudi berkata, "Tiadalah Muhammad
itu berpindah kiblat ke Ka’bah, melainkan karena kecenderungan kepada agama
kaumnya dan kecintaan kepada negerinya; sekiranya dia berada di atas kebenaran,
tentulah ia akan tetap berkiblat ke kiblat para nabi
sebelumnya."Orang-orang musyrikin berkata, "Ia telah kembali kepada
kiblat kita dan akan kembali kepada agama kita."Dan orang-orang munafikin
berkata, "Berpindah-pindah kiblat itu menunjukkan bahwa Muhammad dalam
keragu-raguan dan tidak berpendirian."Demikianlah alasan-alasan yang
dibuat-buat oleh penentang-penentang agama Islam di waktu itu.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian tersebut, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Mereka
yang menentang dan mempertanyakan tentang perpindahan kiblat, tiada lain hanya
kebodohannya serta tidak mau menggunakan akal sehatnya.
b. Semua
arah mata angin adalah milik Allah. Oleh sebab itu perpindahan arah kiblat
tidak perlu dipertentangkan.
c. Umat
Muhammad adalah umat yang paling mulia. Karena itu, Allah subhanahu wata’ala
memilihnya sebagai saksi atas umat-umat sebelumnya kelak di hari kiamat.
d. Salah
satu syarat sahnya shalat adalah menghadap ke arah kiblat. Namun, mengenai
menghadap ke arah ka'bah para ulama' berbeda pendapat.
e. Dalam
menghadapi berbagai masalah, diperlukan suatu persiapan yang matang. Sebab
Allah sendiri telah mendidik hamba Nya untuk menghadapi kaum yang bodoh dan
pembangkang dengan memberikan persiapan persiapan.
DAFTAR PUSTAKA
http://ammaghfur.blogspot.com
http://c.1asphost.com
Syarjaya, H. E. Syibli, 2008, Tafsir Ayat-ayat
Ahkam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam abul Fida Isma’il Ibnu
Katsir Ad-Dimasyqi, Sinar Baru algensindo
Terjemah
singkat Tafsir Ibnu Katsir, PT. Bina Ilmu.
[1] H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 119-121.
[2] Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Dimsyiqi, Tafsir al-Quran
al-‘Adhim, al-Maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 452.
[3] Tafsir
Ibnu Katsir, Al-Imam abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Juz 2, Sinar
Baru algensindo, hal.2
[4] Tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam
abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Juz 2, Sinar Baru algensindo,
hal.35