Selasa, 25 Maret 2014

MAKALAH RAHN (GADAI) FIQH MUAMALAH

BAB I
PENDAHULUAN


A.    LATAR BELAKANG
Dalam syari’at bermuamalah, seseorang tidaklah selamanya mampu melaksanakan syari’at tersebut secara tunai dan lancar sesuai dengan syari’at yang ditentukan. Ada kalanya suatu misal ketika sedang dalam perjalanan jauh seseorang kehabisan bekal, sedangkan orang tersebut tidaklah mungkin kembali ke tempat tinggalnya untuk mengambil perbekalan demi perjalanan selanjutnya.
Selain daripada itu, keinginan manusia untuk memnuhi kebutuhannya, cenderung membuat mereka untuk saling bertransaksi walaupun dengan berbagai kendala, misalnya saja kekurangan modal, tenaga dsb. maka dari itu, dalam islam diberlakukan syari’at gadai. Adapun pengertian, hukum, dan syaratnya, serta bagaimana penggunaannya akan dibahas dalam makalah ini.


B.     RUMUSAN MASALAH

A.    Pengertian Gadai (Rahn)
B.     Landasan Gadai
C.     Syarat-Syarat Gadai
D.    Hukum Rahn Dan Dampaknya
E.     Akhir Rahn
F.      Pengambilan Manfaat Barang Gadai







BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN GADAI (RAHN)
            Gadai (al rahn) secara bahasa dapat diartikan sebagai (al stubut,al habs) yaitu penetapan dan penahanan.
Secara istilah dapat diartikan menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’sebagai jaminan atas adanya 2 kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.[1][1]
Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[2][2]
Sehingga dapat disimpulkan gadai adalah menjadikan suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang.

B.     LANDASAN GADAI
            Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:
a.       Al qur’an surat Al Baqoroh ayat:  283
            Artinya: Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.[3][3]
b.      Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.
c.       Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dalam bepergian atau dimana saja berdasar hadits nabi yang melakukan transaksi gadai di Madinah.
Sehingga dapat disimpulkan perjanjian gadai diperbolehkan di dalam islam berdasarkan Al qur’an surat Al Baqoroh ayat 283, hadits nabi Muhammad saw, dan ijma ulama

C.     SYARAT-SYARAT GADAI
Dalam rahn disyaratkan beberapa syarat berikut :
1.      Persyaratan aqid
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut ulama Syafi’iyah ahliyah adalah orang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh.
Menurut ulama selain hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian jual-beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, ataau anak kecil yang belum baligh.
2.      Syarat shighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Ada pun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berkut :
a.       Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalm rahn ada tiga :
·         Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita.
·         Mensyaratkan sesuatu yang tidak  bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminanya diberi makan tertentu, syarat seperti itu batal tetapi akadnya sah
·         Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin
b.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi menjadi dua yaitu :
·         Rahn sahih
·         Rahn fasid adalah rahn didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.
c.       Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah diatas, yakni rahn terbagi menjadi dua, sahih dan fasid, ahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesua dengan kebutuhan.
3.      Syarat Marhun Bih (utang)
Marhun bin adalah hak yang diberikan ketika rahn, Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu :
a.       Marhun bih hendaklah barang wajib diserahkan
b.      Marhun bih memungkunkan dapat dibayar
c.       Hak atas marhun bih harus jelas
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat marhun bih :
·         Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
·         Utang harus lazim pada waktu akad.
·         Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.      Syarat marhun (borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqh sepakat mesyaratkan marhun sebagai persyaratan barang dalam jual beli, sehinggga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.[4][4] Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun antara lain :
a.       Dapat diperjualbelikan
b.      Bermanfaatkan
c.       Jelas
d.      Milik rahin
e.       Bisa diserahkan
f.       Tidak bersatu dengan harta lain
g.      Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan

D.    HUKUM RAHN DAN DAMPAKNYA
            Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu sahih dan ghair fasid,
a.       Hukum rahn sahih
            Kelaziman rahn bergantung pada rahin, bukan murtahin. Rahn tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan murtahin berhak membatalkannya kapan saja dia mau. Selain itu menurut pandangan jumhur ulama, rahn baru dipandang sah bila borg sudah dipegang oleh murtahin, sedangkan menurut ulama Malikiyah cukup adanya ijab dan qabul, kemudian meminta kepada rahin untuk menyerahkan borg. [5][5]
b.      Dampak rahn sahih
            Jika akad rahn telah sempurna, yakni rahin menyerahkan borg kepada murtahin, terjadilah beberapa hukum berikut :
1.      Adanya hutang untuk rahin
2.      Hak menguasai borg
3.      Menjaga barang gadaian
4.      Bembiayaan atas borg
5.      Pemanfaatan gadai
6.      Tasharuf (mengusahakan) rahn
7.      Tanggung jawab atas borg
8.      Mejual rahn
9.      Penyerahan borg

a.       Hukum rahn fasid
            Jumhur ulama fiqih sepakat bahwa yang diketegorikan tidak sah menyebabkan akad batal atau rusak, yakni tidak adanya dampak hukum pada borg. Dengan demikian, murtahin tidak memiliki hak untuk menahannya. Begitu pula, rahin diharuskan meminta kembali borg.  Jika murtahin menolak dan borg sampai rusak, murtahin dipandang sebagai perampas, 

E.     AKHIR RAHN
Rahn dipandang berakhir dengan beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah, membayar hutang, dan lain-lain
a.       Borg diserahkan kepada pemiliknya
b.      Dipaksa menjual borg
c.       Rahin melunasi semua hutang
d.      Pembebasan hutang
e.       Pembatalan rahn dari pihak murtahin
f.       Rahin meninggal
g.      Borg rusak
h.      Tasharruf dan borg

F.      PENGAMBILAN MANFAAT BARANG GADAI
            Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berpandapat diantaranya jumhur Fuqaha dan Ahmad. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, jika barang gadai berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang bisa diambil hasilnya, maka penerima gadai dapat mangmbil manfaat dari kedua benda gadaiu tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. [6][6]







BAB III
PENUTUP



A.    KESIMPULAN

             gadai adalah menjadikah suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang. Dapat disimpulkan bawa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang  murtahin. Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki. dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Al Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan  dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.




 DAFTAR PUSTAKA


H. Hendi suhendi. Fiqh muamalah, (jakarta: pt. Grafindo persada, 2000)
Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji masagung, 1997)
Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, M. A. Fiqih muamalah, ( Bandung : Pusaka Setia 2001)




[1][1] H. Hendi suhendi. Fiqh muamalah, (jakarta: pt. Grafindo persada, 2000) hal.105-106
[2][2] Prof. Drs. H. Masyfuk zuhdi. Masail fiqhiyah, (Jakarta: CV. Haji masagung, 1997) hal.122
[3][3] ibid, hal 124
[4][4]  Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i, M. A. Fiqih muamalah, ( Bandung : Pusaka Setia 2001) hal 162-164
[5][5] Ibid, hal 170
[6][6] Kifayatul Akhyar, hal 263